Pasal UU ITE yang dianggap pasal karet oleh masyarakat banyak menuai kritik pro dan kontra. Pada hari Senin, 26 Juli 2021, Himpunan Mahasiswa Program Studi Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus mengadakan kegiatan diskusi daring dengan tema "Polemik UU ITE terhadap Rivalitas Kebebasan Bersuara dan Berpendapat". Dalam diskusi tersebut, terdapat Kaprodi Pemikiran Politik Islam Ibu Dr. Siti Malaiha Dewi, S.Sos., M. Si. Yang bertindak sebagai Keynote Speaker. Selain itu, diskusi tersebut dihadiri oleh 3 narasumber profesional yaitu M. Hasan Syamsudin, M.I.P. selaku Dosen Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus, Dr. Muhaimin, M.H.I. selaku Dosen Hukum Islam FEBI IAIN Kudus dan Muhammad Faris Balya selaku Ketua HMJ Ilmu Politik UIN Wali Songo Semarang, kegiatan diskusi tersebut dipandu oleh Isnun Najib sebagai MC dan Ulya Ulul Janah sebagai moderator.
Sambutan pertama diberikan oleh saudara Farkhan selaku ketua panitia kegiatan, sambutan kedua diberikan oleh Ziedane Akil Ghibran selaku Ketua HMPS PPI IAIN Kudus dan sambutan ketiga diberikan oleh Ibu Dr. Siti Malaiha Dewi, S.Sos., M.Si. selaku Kaprodi Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus. Beliau menyampaikan bahwa setelah acara tersebut selesai mahasiswa harus dapat mengoutput hasil publish mengenai proses legislasi pada UU ITE karena proses tersebut sebagai mata kuliah prodi PPI semester 6.
Pemaparan materi pertama disampaikan oleh Bapak M. Hasan Syamsudin, M.I.P. Masyarakat menganggap bahwa Pasal UU ITE dianggap sebagai pro dan kontra. Selama masih ada peluang untuk mengemban dan meninjau lagi maka pasal tersebut dapat direvisi kembali. Regulasi media yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Jika dalam masyarakat tidak ada ruang yang bebas maka perbudakan tidak akan pernah ada. Tanpa adanya kebebasan sipil maka negara tidak bisa dikatakan demokrasi. Menurut beliau, bicara kebebasan harus ingat tanggung jawab sosial sehingga kita akan sadar terhadap konsekuensi yang ada. Untuk menjembatani kebebasan dan tanggung jawab sosial yaitu dengan regulasi UU ITE.
Pemaparan materi kedua disampaikan oleh saudara Muhammad Faris Balya, Ketua HMJ Ilmu Politik UIN Walisongo. Sebagai mahasiswa kita harus menjadi kritis, aktif, dan inovatif dalam mengutarakan suatu kritikan baik secara langsung atau lewat media internet. Peran mahasiswa sebagai sosial control yaitu sebagai penyambung (mediator) antara masyarakat, penguasa, dan pelaku demostrasi dalam dunia maya. Sedangkan peran internet dalam demokrasi yaitu meningkatkan transparansi, memberikan akses informasi dan akses partisipasi masyarakat. Banyak kasus dalam UU ITE terkait pelecehan seksual, seperti pencemaran nama baik mengkritik pemerintah dan menyebarkan rekaman suara yang meminta Presiden untuk mundur. Menurutnya, hal yang dapat kita lakukan saat ini sebagai mahasiswa yaitu mahasiswa terus melakukan sosial kontrol, mengubah pola kritik dari person beralih kepada kebijakan dan mengkritik hatus konstutusional, tidak menghina dan menyerang secara personal.
Pemaparan ketiga disampaikan oleh Bapak Dr.Muhaimin.M.H.I, Dosen Hukum Islam FEBI IAIN Kudus. Adanya ruang kebebasan berekspresi kemudian mencoba untuk diatur dan dikontrol lewat keberadaan UU ITE. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 28 J UUD NKRI. Dalam konteks UU ITE, pembatasan dilakukan lewat undang-undang terhadap ruang kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi lewat sarana elektronik. Pada tahun 2008 sampai awal tahun 2021, terdapat 375 kasus yang menjerat warga terkait UU ITE. Terdapat 7 pasal-pasal berpotensi membatasi hak berekspresi seseorang diantaranya Pasal 27 Ayat 1, Pasal 27 Ayat 2, Pasal 27 Ayat 3, Pasal 27 Ayat 4, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 29 dan Pasal 40 Ayat 2A. Menurut beliau, perlu langkah substantif dalam revisi terhadap UU ITE yang dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multi tafsir dan berpotensi mengekang demokrasi.
Kontributor : Sri Lestari Vitta Ningsih (Div. Riset & Pend. Politik)
Editor : Mochammad Ariq Ajaba (Koor. Div. Riset & Pend. Politik)
0 Comments:
Post a Comment