Adanya Rancangan Undang-Undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menimbulkan kebingungan publik. Banyak
pihak, terutama partai dan kelompok Islam berpendapat bahwa RUU ini telah
mencederai lima sila Pancasila dengan adanya Trisila dan Ekasila.
Tiga pokok Pancasila yang
terdapat dalam Trisila adalah sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan
ketuhanan yang berkebudayaan. Pokok ketiga Trisila ini sering disalahartikan
oleh publik, bahkan beredar hoax sila
pertama akan diganti menjadi ketuhanan yang berkebudayaan.
Oleh karena itu, HMPS Prodi
Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus menyelenggarakan diskusi daring dengan tema
“Ketuhanan yang Berkebudayaan Ditinjau dari Segi Konsep Politik dan Hukum
Indonesia” pada Sabtu malam, 27 Juni 2020. Diskusi ini bertujuan untuk
membicarakan isu Ketuhanan yang Berkebudayaan menggunakan sudut pandang
akademisi.
Pembicara dalam diskusi daring
ini adalah Dr. Any Ismayawati, S.H., M.Hum, dan Ozi Setiadi, S.Sos., M.A.Pol.
Dengan peserta mahasiswa Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus dan mahasiswa
politik dari berbagai Universitas.
Kepala Program Studi Pemikiran
Politik Islam, Siti Malaiha Dewi, dalam sambutannya mengungkapkan apresiasinya
terhadap HMPS PPI yang telah menyelenggarakan diskusi daring. Dia juga berharap
agar diskusi ini dapat memberi ilmu lebih pada peserta diskusi.
“Terimakasih kepada divisi riset
dan pendidikan politik sebagai panitia pelaksana diskusi daring dengan tema
Berketuhanan yang berkebudayaan ditinjau dari segi konsep politik dan hukum
Indonesia malam ini. Terimakasih juga kepada Ibu Any Ismayawati, Dekan Fakultas
syariah IAIN Kudus, dan juga Bapak Ozi Setiadi, dosen Prodi Pemikiran Politik
Islam yang telah bersedia menjadi narasumber dalam diskusi ini,” ungkap Malaiha
dalam sambutannya.
“Harapan saya, semoga divisi
riset dan pendidikan politik tidak hanya dapat melaksanakan tugas pendidikan
politiknya saja dengan menyelenggarakan diskusi, tapi juga dapat melaksanakan
tugas risetnya dengan membuat diskusi ini nanti dibuat riset lebih lanjut dan
dapat dijadikan jurnal. Juga semoga adanya diskusi ini dapat menjawab konsep
Ketuhanan yang Berkebudayaan itu apa dan lebih greget lagi bisa memahami tentang RUU HIP itu sendiri. Terutama
memahaminya dari sudut pandang akademisi hukum dan politik,” lanjutnya.
Ketuhanan yang berkebudayaan Ditinjau dari Segi Hukum
Any Ismayawati mengingatkan bahwa
Pancasila bukan merupakan produk hukum yang asal-asalan diciptakan oleh pendiri
bangsa. Sebab, Negara Indonesia didirikan dengan sila-sila Pancasila yang
diambil dari intisari kehidupan masyarakat Indonesia.
Rumusan Pancasila telah final dan
tidak dapat diubah. Pancasila telah menjadi ideologi bangsa, dasar negara, dan
sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Oleh karenanya, setiap peraturan
yang ada harus berbasis pada Pancasila.
Adanya kontroversi RUU HIP memang
menuntut untuk dibahas lebih lanjut. Namun, selama ini pembahasan dalam diskusi
hanya berpusat pada pro dan kontra RUU HIP, sehingga tidak membahas lebih jauh
tentang isi yang menjadi masalah.
Any mengapresiasi diskusi daring
karena menurutnya tema yang dipilih langsung fokus pada satu bahasan. Selain
itu, dibutuhkan pula diskusi terfokus untuk membahasnya dari segi hukum.
“Bagus sekali mahasiswa PPI ini
ingin tahu tentang hukum, karena semua jurusan ini memang perlu menggunakan
sudut pandang hukum dalam setiap membahas masalah. Tema yang dipilih juga
bagus, tema langsung menukik, karena selama ini diskusi ke pro kontra sehingga
membahasnya sangat luas. Tapi juga, karena langsung menukik kita tidak bisa
terlalu luas,” ungkapnya dalam sesi diskusi.
Menurut Any, tidak perlu lagi
kita memperdebatkan rumusan Pancasila karena rumusan tersebut sudah final
tercantum dalam UUD RI alinea ke empat. Persoalan yang perlu diselesaikan
adalah bagaimana cara membumikan nilai-nilai Pancasila dan proses
mengimplementasikan nilai Pancasila dalam setiap kehidupan.
“Rumusan Pancasila sudah final
terdapat di Undang-Undang Dasar alinea empat, sebagai ideologi, dasar negara,
dan sumber hukum Indonesia. Persoalannya bagaimana kita membumikan nilai-nilai
Pancasila dan proses mengimplementasikan nilai Pancasila dalam masing-masing
kehidupan. Bukan lagi memperdebatkan rumusan Pancasila,” kata dia.
Any mengingatkan bahwa dalam
memahami RUU HIP harus memahami konsiderannya. Dirinya menilai jika pembentuk
RUU HIP ingin mewujudkan aturan yang berbasis Pancasila. Pembentuk RUU HIP
resah karena mereka melihat selama ini banyak peraturan yang tidak berbasis
Pancasila, serta sikap masyarakat yang tidak berbasis Pancasila.
Ketuhanan yang berkebudayaan,
lanjut Any, adalah konsep yang diutarakan oleh Ir. Soekarno dalam rapat BPUPKI.
Adapun maksud Ketuhanan yang Berkebudayaan oleh Ir. Soekarno adalah tidak
adanya “egoisme agama”. Semua masyarakat menjalankan agamanya dengan cara yang
berkeadaban, yaitu dengan saling menghormati satu sama lain.
“Bukan saja bangsa Indonesia
bertuhan, tetapi masing-maisng orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhannya menurut Petunjuk Isa al Masih. Yang
islam bertuhuan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang budha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua
ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa,” ujar Any mengutip pidato
Soekarno.
Dia menambahkan bahwa maksud
Soekarno dalam ketuhanan yang berkebudayaan adalah kehidupan masyarakat
Indonesia yang berbeda-beda namun saling menghormat satu sama lain.
Melihat dari konsiderannya, Any
menilai jika niat yang dibangun telah baik, namun ada beberapa pasal yang
mereduksi Pancasila itu sendiri. Dimana hal ini menurut Any sangat kontrdiktif
dengan konsideran.
Any juga menyoroti penggunaan
bahasa yang terlalu berbelit dalam pasal RUU HIP sehingga dapat mengakibatkan
perbedaan tafsir.
“Untuk RUU HIP di konsiderannya
dapat ditangkap niatnya bagus, tetapi di pasal-pasal ada reduksi terhadap
Pancasila itu sendiri. Ini sangat kontradiktif dengan konsideran. Disamping itu
dalam penjelasan tidak tuntas. Seharusnya suatu UU menggunakan kata, kalimat,
dan bahasa yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir yang memicu
konflik di kalangan masyarakat,” paparnya.
Any mengharapkan adanya
tahapan-tahapan yang jelas dalam perumusan suatu Undang-Undang agar nantinya
tidak menimbulkan reaksi penolakan atau resistensi di masyarakat.
Dia menambahkan bahwa setiap
peraturan yang dibuat haruslah memiliki tiga asas, yaitu keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum. Dirinya mengamati tujuan utama pembuatan RUU HIP adalah
untuk menjamin Pancasila terealisasi dalam setiap pembuatan peraturan.
“Dalam membuat UU juga harus
dipastikan bahwa UU tersebut memenuhi asas kemanfaatan dan keadilan, tidak
sekedar untuk mewujudkan kepastian,” kata Any.
“Karena sesungguhnya tujuan hukum
adalah terciptanya ketertiban dalam masyarakat, apa artinya dibentuk
Undang-undang jika UU tersebut justru menciptakan kerusuhan, konflik, dan
ketidakadilan,” tambah Any menegaskan.
Ketuhanan yang berkebudayaan Ditinjau dari Segi Politk
Dalam
diskusinya,
Ozi Setiadi mengajak peserta untuk mengingat kembali tentang lahirnya Pancasila. Nama Pancasila hadir dari
gagasan yang diutarakan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI, 1
Juni 1945. Lima (panca) sila yang diusulkannya, antara
lain; kebangsaan Indonesia, Interasionalisme atau peri kemanusiaan, persatuan
dan kesatuan, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang maha Esa.
Peta perdebatan pemikiran pada
kelahiran Pancasila, lanjut Ozi, melingkupi beberapa unsur, yaitu:
Islam, Indonesia, Libeeralisme atau kapitalisme, dan Sosialisme atau komunisme.
“Yang menuai
banyak perdebatan pada isi pancasila adalah pada bagian sila pertama yakni
ketuhanan yang maha Esa. Makna ketuhanan yang maha Esa dalam pancasila itu
sendiri terbagi menjadi delapan,
yakni: Pertama, pengakuan
terhadap agama, dalam hal ini Indonesia mengakui adanya eksistensi dari agama
di negara tersebut dan mengakui bahwa agama memiliki kedudukan tertinggi dalam
suatu negara. Kedua, toleransi
dan kerjasama antar penganut agama, maksudnya adalah saling menghargai antara
agama satu dengan yang lainnya dan menciptakan kerjasama yang baik antar agama
sehingga para penganut agama di Indonesia dapat rukun. Ketiga, ke-Esaan
dalam beragama, maksudnya adalah meyakini agama masing-masing tanpa ikut campur
agama lain. Keempat,
tidak memaksakan kehendak agama dan kepercayaan ke orang lain, maksud dari
makna ini adalah suatu agama dan kepercayaan itu murni dipilih seseorang
berdasarkan kehendaknya sendiri dan tanpa adanya unsur paksaan di dalamnya. Kelima, negara
memberikan fasilitas bagi tumbuhkembangnya agama dan iman, maksudnya adalah
kita diberikan kesempatan untuk menumbuhkembangkan agama kita. Keenam, Tuhan
yang maha Esa sebagai sebab utama. Ketujuh, jaminan
implementasi dalam beragama sesuai kepercayaan masing-masing. Kedelapan, saling
menghormati satu sama lain,”
jelas Ozi.
Dirinya menjelaskan, Ketuhanan
yang Maha Esa dengan makna yang dikandungnya akan memancing perdebatan publik
bila ada pergantian kata. Meskipun pengusulnya adalah DPR RI, namun kata
Ketuhanan yang berkebudayaan relatif tidak lazim sehingga menimbulkan
perdebatan.
Ozi
membenarkan pernyataan
Ani yang menganggap kemunculan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) terlalu
mendadak. Dia lanjut mengungkapkan beberapa fraksi yang menyetujui RUU HIP,
yaitu PDI-P, Nasdem, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, PKS,
PAN, dan PPP.
“Adapun yang
menolak atau tidak setuju dengan RUU HIP tersebut. Majelis Ulama Indonesia
mengeluarkan delapan poin maklumat yang kemudian didukung oleh NU,
Muhammadiyah, Wahdah Islamiyah, Al-Irsyad, dan ormas lainnya.” Terang Ozi Setiadi dalam diskusi.
Dia menuturkan dari pihak
pembuat, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan penolak, yaitu Majelis
Ulama Indonesia memiliki alasannya masing-masing.
Implementasi HIP
menurut Badan Pembinaan Idelogi Pancasila
memiliki beberapa dampak: (a) sebagai
pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. (b) acuan
dalam menerapkan kebijakan pembangunan nasional di bidang
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan
keamanan. (c)
diharapkan dapat mencapai tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
dan berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur.
Sedangkan
dampak implementasi HIP menurut Majelis Ulama Indonesia adalah: (a) menyetujui adanya
penghianatan kepada bangsa. (b) tafsir baru dalam RUU HIP telah
mendegrasi eksistensi pancasila. (c) Pengingkaran terhadap pembukaan dan batang
tubuh UUD 1945, sehingga bermakna pembubaran NKRI berdasarkan 5 sila
(pancasila). (d) RUU HIP ini dinilai membangkitkan paham dan partai komunis
Indonesia.
Namun, Ozi menambahkan bila
Ketuhanan yang Berkebudayaan memiliki arti baik sesuai dengan yang diutarakan
Ir. Soekarno dalam pidatonya. Sebab, semua nilai dalam Pancasila terdapat dalam
ajaran Islam, termasuk Ketuhanan yang berlebudayaan
“Ketuhanan
yang berkebudayaan dalam perspektif pemikiran politik Islam terlahir dari
beberapa ilmuan besar dalam Islam seperti yang dijelaskan Al-farabi dalam ‘al-Madinatul
Fadhillah’,
Ibnu Taimiyah dalam ‘Siyasah Syar’iyah’, Al-Mawardi dalam ‘Al Ahkam al Sulthaniyyah’, Ibnu
Khaldun dalam ‘Muqaddimah’,
Jamaluddin al Afghani dalam ‘al-A’mal
al Kamilah’,
Muhammad Abduh dalam ‘al
Islam baina al ‘llm wa al Madaiyyah’, dan Rasyid Ridha yang menjelaskan tentang
semangat purifikasi, syura, dan jihad,” Kata Ozi menegaskan.
Kontriutor : (Melina)
0 Comments:
Post a Comment