Menjadi filosof atau pemikir adalah orientasi utama seorang mahasiswa dan akademisi Pemikiran Politik Islam. Hadirnya era revolusi industri 4.0 telah menciptakan tantangan dan peluang tersendiri bagi para pemikir.
Kemunculan pemikir politik islam dari kalangan akademisi Barat (Eropa dan Amerika) menjadi bukti kuatnya arus teknologi informasi dan komunikasi. Sehingga mereka mampu menunjukkan eksistensinya ke seluruh dunia.
Eksisnya para pemikir politik islam dari kalangan akademis Barat (Eropa dan Amerika) membuktikan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi. Hal ini turut memberi peluang bagi akademisi Pemikiran Politik Islam untuk eksis menjadi pemikir andal.
Dalam kesempatan diskusi daring bertajuk “Menjadi Pemikir Politik Islam pada Masyarakat Islam yang Dinamis”, Ozi Setiadi, Dosen Pemikiran Politik Islam Institut Agama Islam Negeri Kudus memaparkan 4 (empat) kunci menjadi pemikir politik islam, yang meliputi internal, eksternal, fokus, dan originalitas.
Pertama, Internal, ia menuturkan kunci pertama yang harus dimiliki untuk menjadi pemikir politik islam adalah kunci internal.
“Dalam konteks diskusi sore hari ini, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang ingin berkiprah menjadi seorang pemikir atau analis. Yaitu kemampuan intelektual, kemampuan retoris atau public speaking, kemampuan menulis atau writing skills, kemampuan menonjolkan diri atau show up, dan kemampuan berpenampilan,” jelasnya dalam diskusi daring yang diselenggarakan HMPS PPI pada Selasa (13/05/2020).
Seorang pemikir diharuskan memiliki kemampuan intelektual, yaitu kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Kemampuan ini didapatkan melalui pendidikan atau studi, baik itu formal maupun nonformal. Dengan kemampuan intelektual seorang pemikir mampu menelurkan gagasan dan mampu menganalisa setiap fenomena politik yang terjadi.
Kemampuan intelektual seseorang harus diimbangi dengan kemampuan retoris atau public speaking. Seorang pemikir yang eksis di tengah masyarakat global yang dinamis harus mampu mengemukakan hasil analisanya agar tidak hanya tersimpan dipikirannya sendiri.
“Supaya bisa menjadi pemikir yang bisa eksis di kehidupan global saat ini harus punya kemampuan retoris yaitu menyampaikan gagasan. Perlu adanya keberanian mengucapkan secara langsung secara lisan. Harus mampu mengutarakan hasil analisa,” kata Ozi.
Lanjutnya, seorang pemikir perlu memiliki keberanian dalam mengutarakan analisa menjadi mutlak. Bagi seorang yang sedang berlatih, keberanian untuk berbicara dan menyampaikan pendapat adalah hal dasar. Perlu diingat penyampaian analisa harus sesuai dengan koridor dan teori yang ada.
Selanjutnya adalah kemampuan menulis atau writing skills. Agar pendapat atau analisa dapat diterima oleh umum, seorang pemikir harus mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Untuk bisa dikenal oleh masyarakat luas, seorang pemikir harus menuliskan analisanya dan mempublikasikannya, baik dalam bentuk buku fisik, publikasi daring, tulisan blog, ataupun tulisan di Facebook dan Instagram.
Ozi lanjut menjelaskan, keharusan memiliki kemampuan show up atau menonjolkan diri bagi pemikir yang ingin eksis di masyarakat global. Seorang pemikir harus mampu menujukkan bahwa dirinya mampu dan memiliki kemampuan lebih menonjol dari orang lain.
Ozi mengibaratkannya dengan bupati atau walikota yang jauh lebih terkenal daripada staf-staf dibelakangnya. Hal ini karena staf ahli hanya bekerja di belakang, namun bupati/walikota mampu menonjolkan dirinya dalam setiap kegiatan.
Terakhir, adalah kemampuan berpenampilan, atau membangun citra diri.
“Sebagai pendakwah, saya akan jelaskan dalam dunia dakwah. Setiap dai itu memiliki citra sendiri-sendiri untuk membuat mad’u (jamaahnya) tertarik. Ada yang mencitrakan dirinya kharismatik ketika tausiah, ada dai lucu yang dicitrakan jenaka, dan ada yang dicitrakan cerdas berdasarkan hukum normatif islam,” terang Ozi.
Kedua, Eksternal, Ozi menjelaskan kunci eksternal adalah hal yang ada di luar diri pemikir. Meliputi tiga kemampuan, yaitu jaringan/networking, media, dan kapital.
Seorang pemikir hendaknya mampu membangun jaringan/networking. Baik itu di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Membangun jaringan ini dapat dilakukan dengan mengikuti organisasi yang memiliki kesamaan cara pandang.
Selanjutnya adalah media yang diartikan sebagai tempat seorang pemikir menuangkan tulisan hasil pemikirannya.
“Faktor penting agar bisa menjadi pemikir politik islam yang eksis di masyarakat global itu dengan memanfaatkan media. Bisa melalui blog, facebook, atau Instagram,” kata Ozi.
Kunci eksternal terakhir adalah kapital atau modal. Meliputi modal finansial dan nonfinansial, serta melingkupi jaringan dan media.
Ketiga Fokus, untuk bisa terus eksis dan dikenal banyak orang, seorang pemikir harus memiliki komitmen dan konsisten dalam menggali gagasan politik islam.
“Harus memiliki fokus dalam konsentrasi tentang politik islam, seperti menulis tentang politik islam, meski sedikit harus tetap konsisten. Saya sendiri sedang berupaya untuk menulis satu hari satu halaman,” ujar Ozi.
Lalu, ia mengibaratkannya dengan Alm. Didi Kempot, seorang maestro musik Jawa yang dinikmati berbagai kalangan. Ozi menuturkan kesuksesan Didi Kempot karena fokus menggarap dunia musik daerah berbahasa Jawa, campur sari, selama bertahun-tahun. Hasilnya Didi Kempot mampu dikenal orang banyak dan menghasilkan 700 judul lagu selama hidupnya.
Keempat, kunci yang terakhir, Originalitas/orisinil, membuat karya orisinil di tengah masyarakat global yang dinamis bukan tidak mungkin. “Yang penting kita bisa menjelaskan bahwa ini adalah hasil pikiran kita,” kata Ozi.
Dia kembali mencontohkah Didi Kempot yang mempopulerkan istilah sobat ambyar. Dimana akhirnya istilah ambyar menjadi lekat dan dianggap original (ciri khas) milik Didi Kempot, meskipun sebenarnya kata itu telah ada sebelumnya.
(Melina)
0 Comments:
Post a Comment