sumber foto : https://www.allerin.com/
Seiring
berjalannya waktu, teknologi digital di dunia kian berkembang dengan pesat, yang sangat berpengaruh bagi masyarakat
luas, termasuk
di Indonesia. Teknologi digital memberikan kemudahan dalam menjalin hubungan
dengan orang lain. Tanpa disadari, teknologi digital mengubah cara masyarakat
dalam berkomunikasi dan juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Dengan
adanya teknologi digital juga memberikan dampak pada informasi dari berbagai
media sebagai asumsi publik yang sifatnya terbuka dan transparan. Lalu,
bagaimana teknologi digital ini merubah sistem pemerintahan? Perlu rasanya untuk membahas lebih
lanjut mengenai hal ini.
Mungkin masih sedikit masyarakat
yang belum mengerti bagaimana suatu kota dapat dikatakan sebagai “Smart
City”. Menurut penulis, suatu kota dapat dikatakan sebagai “smart city” apabila sistem pemerintahan yang
berisi pemerintah beserta jajarannya piawai dalam menata segala inrastruktur
secara baik, sistematis, efektif, dan
efisien
di tengah
kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Di sisi
lain, menurut para ahli tentang perspektif smart city ialah kota yang
melakukan integrase dan monitoring semua infrastruktur yang
penting, termasuk jalan, terowongan, air, listrik, bahkan bangunan utama, dan
dapat lebih mengoptimalkan sumber daya serta merencanakan kegiatan pemeliharaan
preventif, dan memantau aspek keamanan sekaligus memaksimalkan layanan kepada warganya
(Hall, 2000 dalam Nam & Pardo, 2011 : 284).
Adapun konsep atau model dari smart
city menurut ahli Griffinger dkk. Ia mencetuskan ada 6 (enam) macam komponen di dalam smart city yang dianaogikan seperti roda yang
berputar, artinya keenam komponen tersebut
saling berhubungan seiring berjalannya kehidupan pada umumnya. 6 (enam) macam komponen tersebut ialah :
- Smart Economy, dimana suatu kota dikatakan smart city apabila ekonomi pada kota tersebut kompetitif, maksudnya inovatif mampu berdaya saing.
- Smart Governance, dimana suatu kota dikatakan smart city apabila pemerintahan pada kota tersebut bersifat transparan, selalu berpartisipasi dalam pelayanan publik,
- Smart Environment, di mana suatu kota dikatakan smart city apabila lingkungan pada kota tersebut kadar polusinya rendah, pemerintah melakukan perlindungan pada lingkungan, berhasil memanajemeni sumber daya berkelanjutan.
- Smart People, di mana suatu kota dikatakan smart city apabila masyarakat pada kota tersebut memiliki sikap kreatif, fleksibel, open minded, berpartisipasi pada kehidupan publik, afinitas belajar seumur hidup.
- Smart Mobility, dimana suatu kota dikatakan smart city apabila mobilitas (transpot dan ICT) pada kota tersebut memiliki aksesibilitias lokal, internasional, memiliki ketersediaan infrastruktur TIK, memiliki sistem transportasi yang berkelanjutan, inovatif, dan aman.
- Smart Living, di mana suatu kota dikatakan smart city apabila kualitas hidup pada kota tersebut memiliki fasilitas budaya, fasilitas pendidikan, kondisi yang sehat, keamanan individu, daya tarik wisata, dan kualitas perumahan yang baik.
Memang
perlu usaha ekstra
jika suatu kota dapat dikatakan sebagai smart city mengingat komponen
yang mendukung begitu banyaknya. Dan harus selalu berkomitmen tidak boleh
berhenti di tengah jalan.
Terlepas dari semua itu, leadership lah
yang merupakan kunci sukses smart city. Itu artinya, kuncinya terletak
pada seorang walikota atau bupati yang memiliki sikap kreatif, professional,
dan kolaboratif.
Selanjutnya, untuk smart
government berawal dari adanya e-government yang berfokus pada
penyediaan layanan dan keterlibatan dengan masyarakat dengan memanfatkan teknologi yang
berbasis internet. Cara mudah memahaminya sesuai urutannya, e-government
menjadi tonggak awal, lalu muncullah smart government, dengan itu
beralih menjadi smart city, lalu otomatis di dalam smart city terdapat smart
governance, bentuk tata kelola yang berhubungan dengan masyarakat berbasis
pengetahuan dan mengolah ulang tata kelola tradisional dengan tetap
mempertahankan prinsip demokrasi. Oleh karena itu, ketiganya saling berhubungan
satu sama lain.
Beralih ke pembahasan
lain, mungkin akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang ramai membahas tentang perbedaan sebuah data pada
kasus orang yang terdampak Covid-19,
lebih spesifiknya lagi mengenai jumlah kasus positif dan meninggalnya pasien Covid-19. Yang menjadikan perbedaan ialah
data yang bersumber dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Hal ini menjadikan
keresahan bagi masyarakat Indonesia yang melihat informasi tersebut yang
seharusnya informasinya harus
valid, lebih terbuka, dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Apalagi Presiden Joko
Widodo sudah menegaskan kepada jajarannya supaya lebih terbuka dalam
mengkomunikasikan setiap data dan informasi kepada publik dan jangan
beranggapan pemerintah menutup-nutupi.
Lalu, pada dasarnya bagaimana suatu
keterbukaan pada pemberian informasi dalam perspektif Islam? Perlu rasanya
dibahas karena seyogyanya suatu masalah memang perlu dikembalikan kepada kitab
suci Alqur’an sebagai pedoman umat Muslim. Pada Q.S. Al-Hujurat ayat 9 yang
artinya “Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil”. Secara tidak langsung ayat tersebut menjelaskan bahwa untuk
menjamin keadilan dibutuhkan sikap keterbukaan. Salah satunya sikap keterbukaan
dalam pemberian informasi kepada publik. Oleh karena itu, pemerintah beserta
jajarannya harus mempunyai sikap keterbukaan dalam pemberian informasi kepada
publik supaya timbul keadilan dalam masyarakat.
Kontributor: Muhammad Ariq Ajaba, mahasiswa PPI angkatan
2019.
0 Comments:
Post a Comment